Si pemuda jago panah bisa memanah sebuah ranting kecil di pucuk pohon. Kemudian, dengan anak panah yang baru, ia bisa memanah anak panah di ranting pohon itu hingga terbelah menjadi dua. Orang-orang terkesan dan kagum dengan kehebatan pemuda itu. Sementara si pemuda sangat bangga karena aksinya berhasil memukau masyarakat.
Sayang, si pemuda malah menjadi sosok yang sombong. Ia silau oleh pujian-pujian yang diterimanya dari orang-orang yang mengaguminya. Ia sering berkata kepada mereka bahwa ia adalah pemanah yang paling hebat di dunia. Mendengar kesombongannya itu, beberapa orang mulai kehilangan rasa kagumnya terhadap pemuda tersebut.
"Tidak kusangka ia menjadi sombong seperti itu," ujar salah satu warga.
"Iya. Rupanya ia mudah silau oleh pujian," sahut warga lainnya.
Kabar tentang kesombongan pemuda itu sampai juga ke telinga sang guru. Pada suatu siang yang cerah, sang guru memanggil si pemuda dan mengajaknya ke suatu tempat. Sebagai seorang murid, si pemuda mengikuti permintaan sang guru dengan penuh hormat.
"Akan ke manakah kita, guru?" tanya si pemuda.
"Ikuti saja aku," jawab sang guru, singkat.
Rupanya sang guru mengajak si pemuda ke sebuah jurang yang sangat dalam. Dua tepi jurang itu dihubungkan oleh sebatang kayu kecil. Tanpa berkata-kata, sang guru berjalan dengan tenang di atas batang kayu itu, lalu pergi ke tengah jurang. Di tempat itu, ia mengambil anak panahnya, lalu membidik sebuah pohon di seberang jurang. Selanjutnya anak panah itu melesat dan menancap di batang pohon tersebut.
Sang guru mengambil anak panahnya lagi. Dengan ketenangan yang luar biasa, ia melepas anak panahnya hingga melesat dan tepat mengenai anak panah yang menancap di pohon hingga terbelah menjadi dua. Sang murid ternganga menyaksikan kehebatan sang guru.
"Sekarang giliranmu. Lakukan seperti apa yang aku lakukan tadi," kata sang guru setelah kembali ke tepi jurang.
Si pemuda merasa gentar. Namun, ia tetap berusaha mencobanya. Ia berjalan melewati batang kayu di jurang itu dengan gemetar. Ia berusaha menjaga keseimbangan sebaik mungkin. Salah melangkah satu kali saja, ia bisa jatuh ke dasar jurang lalu mati. Ia tidak mau hal itu terjadi.
Si pemuda berhasil sampai di tengah jurang. Ia mengambil anak panahnya. Kedua tangannya tampak bergetar. Ia merasa sangat ketakutan. Keringat dingin membasahi pakaiannya. Saat membidik, ia masih tetap tidak bisa bersikap tenang. Akibatnya, anak panah yang dilepaskannya melesat jauh dari sasaran.
Si pemuda mencoba lagi. Kali ini ia berusaha untuk bersikap setenang mungkin, seperti yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh gurunya. Namun, ia gagal melakukannya. Ketakutan sudah terlalu kuat menguasai dirinya. Lagi-lagi anak panah yang dilepaskannya pun melesat entah ke mana.
Si pemuda menyerah. Ia merasa tidak akan bisa melakukan hal yang dilakukan oleh sang guru. Maka ia pun memutuskan untuk kembali ke tepi jurang. Namun, ia kesulitan melangkah. Kakinya terlalu gemetar sehingga ia tidak sanggup bergerak. Akhirnya ia pun merayap melalui pohon itu.
"Guru... tolong aku...," ratap si pemuda.
Sang guru pun menghampiri muridnya itu dan membawanya ke tepi jurang. Setelah beristirahat sejenak, mereka pulang bersama-sama. Sang guru sama sekali tidak berkata apa-apa. Ia yakin muridnya itu telah mendapatkan pelajaran besar atas kejadian tersebut.
Dalam perjalanan pulang, si pemuda hanya bisa tertunduk malu. Ia merasa kemampuan dan ilmu panah yang dimilikinya dangkal sekali. Karena itulah ia begitu menyesal karena dulu sering bersikap sombong akan kemampuannya, padahal sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding kehebatan sang guru.
Sayang, si pemuda malah menjadi sosok yang sombong. Ia silau oleh pujian-pujian yang diterimanya dari orang-orang yang mengaguminya. Ia sering berkata kepada mereka bahwa ia adalah pemanah yang paling hebat di dunia. Mendengar kesombongannya itu, beberapa orang mulai kehilangan rasa kagumnya terhadap pemuda tersebut.
"Tidak kusangka ia menjadi sombong seperti itu," ujar salah satu warga.
"Iya. Rupanya ia mudah silau oleh pujian," sahut warga lainnya.
Kabar tentang kesombongan pemuda itu sampai juga ke telinga sang guru. Pada suatu siang yang cerah, sang guru memanggil si pemuda dan mengajaknya ke suatu tempat. Sebagai seorang murid, si pemuda mengikuti permintaan sang guru dengan penuh hormat.
"Akan ke manakah kita, guru?" tanya si pemuda.
"Ikuti saja aku," jawab sang guru, singkat.
Rupanya sang guru mengajak si pemuda ke sebuah jurang yang sangat dalam. Dua tepi jurang itu dihubungkan oleh sebatang kayu kecil. Tanpa berkata-kata, sang guru berjalan dengan tenang di atas batang kayu itu, lalu pergi ke tengah jurang. Di tempat itu, ia mengambil anak panahnya, lalu membidik sebuah pohon di seberang jurang. Selanjutnya anak panah itu melesat dan menancap di batang pohon tersebut.
Sang guru mengambil anak panahnya lagi. Dengan ketenangan yang luar biasa, ia melepas anak panahnya hingga melesat dan tepat mengenai anak panah yang menancap di pohon hingga terbelah menjadi dua. Sang murid ternganga menyaksikan kehebatan sang guru.
"Sekarang giliranmu. Lakukan seperti apa yang aku lakukan tadi," kata sang guru setelah kembali ke tepi jurang.
Si pemuda merasa gentar. Namun, ia tetap berusaha mencobanya. Ia berjalan melewati batang kayu di jurang itu dengan gemetar. Ia berusaha menjaga keseimbangan sebaik mungkin. Salah melangkah satu kali saja, ia bisa jatuh ke dasar jurang lalu mati. Ia tidak mau hal itu terjadi.
Si pemuda berhasil sampai di tengah jurang. Ia mengambil anak panahnya. Kedua tangannya tampak bergetar. Ia merasa sangat ketakutan. Keringat dingin membasahi pakaiannya. Saat membidik, ia masih tetap tidak bisa bersikap tenang. Akibatnya, anak panah yang dilepaskannya melesat jauh dari sasaran.
Si pemuda mencoba lagi. Kali ini ia berusaha untuk bersikap setenang mungkin, seperti yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh gurunya. Namun, ia gagal melakukannya. Ketakutan sudah terlalu kuat menguasai dirinya. Lagi-lagi anak panah yang dilepaskannya pun melesat entah ke mana.
Si pemuda menyerah. Ia merasa tidak akan bisa melakukan hal yang dilakukan oleh sang guru. Maka ia pun memutuskan untuk kembali ke tepi jurang. Namun, ia kesulitan melangkah. Kakinya terlalu gemetar sehingga ia tidak sanggup bergerak. Akhirnya ia pun merayap melalui pohon itu.
"Guru... tolong aku...," ratap si pemuda.
Sang guru pun menghampiri muridnya itu dan membawanya ke tepi jurang. Setelah beristirahat sejenak, mereka pulang bersama-sama. Sang guru sama sekali tidak berkata apa-apa. Ia yakin muridnya itu telah mendapatkan pelajaran besar atas kejadian tersebut.
Dalam perjalanan pulang, si pemuda hanya bisa tertunduk malu. Ia merasa kemampuan dan ilmu panah yang dimilikinya dangkal sekali. Karena itulah ia begitu menyesal karena dulu sering bersikap sombong akan kemampuannya, padahal sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding kehebatan sang guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar